Deja vu

Pagi itu datang seorang gadis di usia ujung belasan tahun ke tenda pameran kami. Tak kuperhatikan sebelumnya, karena saya sibuk dengan bacaan. Sampai kemudian dia bertanya profil kegiatan lembaga kami. Sekilas kujawab seadanya, sambil menutup mulutku yang menguap terus sejak tadi. Terus dia nyerocos bertanya-tanya, sambil tangannya bergerak ke sana ke mari. Akhirnya kututup buku itu, Thus Spoke Zarathustra tulisan Nietzsche punya istriku yang selalu tidak kumengerti walaupun berulang-ulang kali kubaca. Penuh dengan simbol-simbol yang bercerita tentang manusia unggulan Übermensch.

Dia bercelana lapangan, berbalut kaos tangan panjang warna tentara, dan kepalanya ditutupi jilbab hitam. Cocok sekali dengan sosoknya yang aktif. Sambil ngobrol tubuhnya lincah berpindah-pindah dari satu meja ke meja lainnya. Aku berusaha untuk terus menanggapinya. Sampai penasaran juga seperti apa sih wajahnya. Tak kulihat senyum di wajahnya sebagaimana halnya orang yang baru kenal biasanya mencoba mengakrabkan diri. Dingin. Wajah itu ... wajah yang rasanya saya pernah kenal. Tapi di mana? Kapan kami pernah bertemu?

Kami terus berbincang sambil diselingi kata guyonan, kami berdua cepat sekali merasa akrab. Sementara pikiranku berusaha berpikir siapa orang ini gerangan? Wajah yang rasanya familiar, tak asing lagi, dan pernah sangat dekat. Aku coba mengingat-ingat semua teman perempuanku. Si anu .. si ani .. si ano ... Tak ada ... ah the red face ... wajah yang agak mirip ... tapi bukan.

The red face adalah teman perempuanku naik gunung atau berjalan-jalan di hutan. Kami selalu berenam, dua perempuan dan empat lelaki, bila naik gunung, nongkrong di Situ Lembang atau hanya melewatkan malam minggu di Dago tee huis. Kami tidak pernah memproklamirkan diri pacaran tapi kemana-mana kami selalu bersama, termasuk melewati malam mingguan. Sampai akhirnya kami harus berpisah karena dia meninggal akibat lever yang terus dideritanya semenjak SMA. Kami berdua memang orang-orang yang telat dewasa, untuk mengenal apa yang sekarang dikenal orang-orang istilah cinta. beuh ...

Sebulan sebelum kepergiannya dia sempat berujar ingin melihat Kawah Papandayan dan dia ingin ku petikkan setangkai edelweiss untuk di dinding kamar tidurnya. Tentu ilegal, tapi setangkai bunga untuk oleh-oleh sang kekasih bagi para pendaki gunung seakan sudah terbiasa. Padahal kalau ketahuan bisa disuruh push up telanjang dada di tengah suhu 10oC atau disuruh membersihkan WC oleh petugas jagawan. Well, it's not a big deal, isn't it? Hari-hari berikutnya selalu kudengar senandung Edelweiss dari soundtrack flim-musik Sound of Music di mulutnya.

Edelweiss, Edelweiss,
Every morning you greet me,
Small and White,
Clean and bright
You look happy to meet me..

Blossoms of snow may you bloom and grow,
Bloom and grow forever

Edelweiss Edelweiss
Bless my home land forever

Keluarganya memang penyuka lagu-lagu klasik dan old-song. Dia sendiri mahir bermain biola dan piano, selain dikursuskan melukis. Katanya untuk kelembutan dan ketelatenan, untuk memadukan ke-tomboi-annya. Keluarganya memang membebaskan dia untuk pergi ke mana saja, sebatas dalam hal-hal yang wajar, semenjak dia menderita lever akut. Pun akhirnya dia dekat dengan kami, dan kemudian denganku, untuk naik gunung atau sekedar jalan-jalan dan meninggalkan kebiasaannya hanging out di cafe-cafe seputaran Bandung. Moeilijk .. katanya alam adalah tempat di mana I stood there in the salt spray air; Felt wind sweeping over my face; I ran up through the rocks to the old wooden cross; It's a place where I can find some peace ... ya dia memang sempat frustasi dengan penyakitnya.

Setelah bergaul bersama kami, perlahan baju roknya digantinya dengan celana lapangan dan hem tangan panjang flanel kotak-kotak ukuran L yang gombrong menutupi tubuhnya. Tapi kemudian setelah beberapa kali ikut pengajian anak-anak jurusan dia mulai berubah dengan menambahkan jilbab biru sedada di kepalanya dan kaos kaki di kakinya. Tak ada hiasan lain. Paling-paling gelang kecil dari keramik yang kami beli sepasang di Situ Patengan. Pantas dengan kulitnya yang putih dan kemerah-merahan kalau kepanasan, apalagi kalau dia malu ...

Bunga edelweiss itu nyatanya, tak pernah tertempel di dinding kamarnya. Dua minggu setelah itu dia masuk rumah sakit dan ... aku tak sempat bertemu muka lagi dengannya. Aku hanya bisa menyematkan edelweiss yang kuambil dari Papandayan sehari sebelumnya dipusaranya.

Eh .. kang, alamatnya di mana sih? Aku kembali ke alam sadar, dan wajahnya sudah ada persis di depanku, sambil tersenyum. Ngelamun ...? tanyanya. Wajahnya tidak merah di pipi, tapi rautnya ... tebal alis matanya dan ada garis tipis di bawah matanya. Rautnya wajahnya sangat familiar, tapi .. Red face ...? bisikku. Hellooo .. siapa red face? tanyanya. Oops, sorry kataku.

Kuambil sebatang rokok, kunyalakan ... Masih merokok? tanyanya. Lingkungan, jawabku sekenanya. Huh dasar .. Ikan asin, kayak ikan laut donk, walaupun hidup di air tubuhnya tetap tidak asin, Kang, tawanya berderai. Aku meloncat, YOU ... red face. Dia kaget dan terlonjak, kemudian tertawa. Ya pernyataan tentang ketidaksukaannya bila melihatku merokok adalah ucapan my red face ...

Sampai akhirnya dia pamit mau pergi, sambil berkata .. ini no hp-ku .. boleh minta kartu namanya? Kapan ke Situ Lembang lagi? Kontak saya ya Kang!!! ....... *Perih .. maag-ku mulai terasa karena dari pagi belum diisi ... *

**Deja vu : Pengalaman seolah berada pada suatu keadaan dimana tiba2 anda merasa begitu familiar dengan segala sesuatu yang anda lihat dan merasa anda sudah pernah mengalami kejadian tersebut sebelumnya. Berasal dari bahasa Perancis yg berarti 'already seen'

Comments

Popular posts from this blog

ramadan.in.nl

Perubahan selera humor anda mungkin penanda awal penyakit pikun

Kincir angin