manusia sempurna (1)

Sabtu kemarin, saya punya kesempatan mengikuti suatu kegiatan dimana saya kuliah dulu. Rasanya baru kemarin, saya najongan kaleng kemudian diwisuda. Rasanya wajah ini, semangat ini masih seorang di usia pertengahan dua puluhan. Tidak berbeda dengan mayoritas mahasiswa/i yang hadir di sana. Tapi kemudian tersadar ketika seorang mahasiswi panitia memanggil Bapak kepada saya dan mempersilakan untuk minum teh botol bagi tamu. Huehehe ... pun ketika saya tanya angkatan berapa? 2003, berarti 13 tahun beda saya dengan dia. Apalagi ketika tahu usia mereka berkisar 19 - 20 tahunan ... lha kita? Bapak ... njrit
Mereka di usia produktif. Usia ketika otot lebih berkembang dibanding akal sehat. Usia dimana cita-cita masih digantungkan di langit biru, tak peduli walaupun tanpa tiang ke bumi. Mengawang-awang. Juga, gadis itu mungkin masih tahan 'harga', ketika seorang teman laki-lakinya berusaha 'mendekatinya'. Still looking for Mr. Right Guy, the best one like those appear on TV shows, I still deserve to choose, she thinks.
Aku terhenyak ... angka & statistik memang bikin orang keder. Jika tidak menghitung angka, 20-an dan 30-an, mungkin saya masih berpikir saya adalah teman sebayanya. Atau paling tidak kakak angkatannya yang baru keluar kampus bulan kemarin. Waktu adalah angka juga ... Jika dijalani tidak terasa. Masih jelas dalam ingatan Bapak harus memanggul saya agar mau belajar di SD daripada main terus. Rasanya baru kemarin melarak-lirik beberapa teman sejurusan. Dan kemudian menikah dan punya anak. Tak terasa ...
So, apa sebenarnya hidup yang kita jalani ini? Apa yang saya lakukan di sini? Wat doe ik hier? oh tidak ... *gedubrak*
Kata orang, harus ada sesuatu yang berbeda dari waktu ke waktu lain. Akhir-akhir ini saya merasa telah terjebak dalam rutinitas. Lagging. Di situ-situ saja. Hey ... sebentar & lihatlah.
Saya bertemu teman-teman semasa kuliah. Apa yang diperbincangkan? Progress ... apa yang telah kau punya? Rumah dimana? Mobil apa yang kau pakai? Sudah berkeluarga?
Sadar saya, materilah yang membuat eksistensi seseorang. Materi tersebut hanyalah materi apa yang dimiliki atau dipakai oleh dirinya. Mobil yang dipakai dirinya, rumah yang ditempati dirinya. Istri atau suami pun kalau bisa akan dikalungkan dan dibawa ke mana-mana sebagai apa yang dia pakai. Adakah ruang untuk orang lain untuk menikmati juga materi itu?

[bersambung]

Comments

Popular posts from this blog

Kincir angin

Dolce & Gabbana pun mengoleksi jilbab

[sic!]