Sabar dong!

''Bagaimana saya bisa bersabar, kalau semua harga kebutuhan serba naik! Sementara saya masih juga belum mendapat rezeki yang memadai. Bagaimana saya bisa memenuhi kebutuhan hidup?'' "Sabar itu ada batasnya". "Masa sih sabar terus".

Akhir-akhir ini saya sering mendengar kata tersebut. Teman di angkot, teman di kantor, teman di rumah ataupun teman di kamar mengingatkan kata tersebut. Hidup sudah susah begini.

Suatu ketika seorang ibu tetangga melahirkan anaknya dengan lancar. Mulus, tentu setelah mulas. Subhanallah, kata istriku. Ada yang harus berjuang susah payah, dia begitu mulus, lancar. Penghasilan suaminya, jauh dari memadai. Bayi itu dibungkus oleh plastik, dan diletakkan di sudut rumah yang cahaya pun sukar masuk. Anaknya sudah enam, sehat semua. Ketika ditanya masih mau tambah? Yah terserah Gusti Allah. [Jika kita lihat, orang tua kita dulu bisa melahirkan anak sampai di atas 10 anak. Sepertinya kita tidak mendengar keluh kesah dari mereka. Atau kita aja yang belum lahir, dan karenanya tak mendengar keluh kesah?]

Apa resep mereka? Coba tanyakan dan resapi, kataku kepada istri. Dia jarang mengeluh, kata istriku. Apa lagi? Dia selalu tersenyum. Keinginannya sederhana, sesederhana jalan pikirannya. Hmmm... kami terdiam. Dia tidak sekolah tinggi-tinggi ya? Makanya jangan kebanyakan sekolah. Sekolah itu candu! kata Roem Topattimasang. Bikin orang berpikir nganeh-nganehi. ;-) Kami tertawa.
Kata istriku, dia sabar!

Adzan maghrib menjelang. Tiba-tiba saja di TV O Channel terpapar: "Jadikanlah shalat & sabar penolongmu..." ayat Quran tapi lupa suratnya berapa. Kami pun shalat. Berdoa sapu jagat. Malam menjelang. Setelah makan malam, tv dinyalakan kembali. Gonta-ganti saluran TV sudah biasa, karena kami harus mencari sesuatu yang pantas dilihat the kids. Change the channel, it's jerk atau koq gitu? sering bersahut-sahutan di antara kita. Atau the kids tanya kenapa begini kenapa begitu. Sampai akhirnya mereka terlelap.

Sendiri menonton tv. Lihat Lativi, ada Pildacil. Sebentar liat dua orang ustadz bergaya seperti dua orang pelawak. Sungguh susah membedakan antara ustadz dan pelawak di tv show, kecuali aksesoris. Bikin bete dan bikin dakwah jadi murahan. Hati merutuk. Pantes aja orang-orang banyak itu bilang sedang terjadi arabisasi. Mereka bilang negara ini mau jadi Arab, karena semua orang harus pakai aksesori Arab. Dari tudung kepala sampai nama-nama Arab harus diganti, begitu diskusi di satu milis. Kata Pak Dien Syamsudin waktu ceramah di UCLA bilang, Indonesia ini bukan negara agama, pun bukan negara sekular. Jadi negara apa toch, Pak? Emang gak jelas kali?

Tapi my thumb didn't push the buttons on my remote control. Saya penasaran, ternyata kemudian saya dengar mereka sedang membahas SABAR. Oops... kata mereka: menurut agama sabar itu ada tiga:
  • sabar dalam taat
  • sabar dari menginginkan perbuatan yang dilarang. karena fitrah manusia selalu ingin menyerempet-nyerempet yang dilarang. [Persis kata bang haji Rhoma Irama, kenapa e kenapa semua yang enak-enak itu diharamkan ...]
  • sabar dalam menghadapi ujian dan kesenangan dalam hidup ini
Blah... blah... itu yang bisa saya tangkap. Istighfar sebentar, makanya jangan berburuk sangka sama orang. Ilmu bisa didapat dari mana saja. Karena kata nabi ilmu itu adalah mutiara yang tercuri oleh orang lain. Makanya keluar hadist, carilah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina. Negeri Cina zaman itu, masih merupakan daerah incognito.
Esoknya kubaca sebuah email. Emailnya biasa saja, tapi quotation di signature-nya yang tidak biasa: When I die I will go to heaven, because when I life, I live in hell. Apaan nih, pasti keluar dari seseorang yang secara demikian sehingga bermakna sufistik. Tapi mungkin copy and paste begitu saja. It's nice anyhow. Saya tersenyum.

Beberapa hari kemudian bertemu seorang teman. "Sekarang tuh harus banyak bersabar kayaknya dan banyak tersenyum," katanya. "Kalau orang sudah tidak bisa tersenyum aura udah habis, siap-siap aja sakit," imbuhnya. Jadi banyak-banyak sabar ya. Saya mengamini.

Well
, pelajaran hari-hari ini bagiku adalah sabar. Pernahkah kamu mengalami serba kebetulan itu? Atau memang sudah diskenariokan?

Sabar yah... waktumu akan datang juga. Eat, read, die anyway...

Comments

Popular posts from this blog

ramadan.in.nl

Perubahan selera humor anda mungkin penanda awal penyakit pikun

Kincir angin