mijn fiets

Ada lagu Belanda judulnya 'De fiets van Piet van Pa' lagunya riang bisa didengerin di sini. Bait pertamanya berbunyi:
Hee Henkie!,
Jaha,
Lekker fietsweer he!
Vies weer?
Nee, fietsweer!

Kira-kira artinya
:
Hei Henkie!
Ya?
Enak yah bersepeda!
Kotor lagi?
Bukan, enak bersepeda.

Nah di Belanda atau di Wageningen ini, asyik bersepeda. Hampir semua orang bisa bersepeda dan naik sepeda. Opa, oma, dames, heren, jongen, ouden en kinderen semua naik sepeda. Selain menyehatkan juga praktis dan murah. Juga didukung oleh geografis Belanda yang relatif datar dan infrastruktur atau regulasi yang memadai. Bayangkan kalau harus naik sepeda ke Dago atau ke Puncak setiap hari. **Mbuh mang**

Jalan terbagi tiga, untuk mobil dan motor cc besar, untuk sepeda dan motor cc kecil, dan trotoar pejalan kaki. Kendaraan melaju di sebelah kanan, bukan di kiri seperti di kita. **Jadi saran Bu Guru SD kita dahulu, yaitu berjalanlah si sebelah kiri, tidak berlaku di sini**. Entah tertulis atau tidak, saya kurang periksa, orang yang memakai mobil harus mendahulukan orang yang bersepeda, dan orang yang bersepeda harus menghargai orang yang jalan kaki. Nah, bagi saya yang terbiasa hidup di Indonesia, dimana kejadiannya kebalikannya, apalagi kalau sama angkot, maka agak kagok juga. Seperti jika di persimpangan jalan saya pasti berhenti sebentar tengok kiri kanan, padahal kalau orang sininya langsung terobos. Apalagi mereka kalau naik sepeda, laju sekali.

Suatu sore menjelang maghrib di Marijkeweg, ketika lampu-lampu sepeda mulai dihidupkan, awan kelabu, matahari telah lama bersembunyi, di persimpangan Haarweg, saya mau nyebrang pakai sepeda. Dari arah yang bersimpangan denganku terlihat anak dan bapaknya melaju dengan kencang. Riang. Maka sayapun berhenti, memberi jalan kepada mereka.


Tapi mungkin saya terlihat ragu-ragu, si anak malah melaju ke arahku. Si Bapak berteriak-teriak, Hee Henkie! Lekker fietsweer he! **Eh.. bukan itu kan lagu**. Si anak panik, dan tiba-tiba merem. Akhirnya, saudara-saudara: bapak dan anak bertabrakan. Saya merasa bersalah, saya minta maaf kepada mereka. Mereka hanya diam, dan si Bapak mengaduh.

Di persimpangan lain antara Churchillweg dan arah Centrum, saya nyelonong tanpa melihat rambu segitiga di bawah. Artinya, kendaraan dari arah itu harus berhenti sejenak memberi jalan kepada kendaraan di jalur utama. Alhasil, saya diklakson beberapa kali. Untung tak kudengar sumpah serapah mereka. Pengalaman teman-teman dari Indonesia juga sama. Ada yang kena semprot oma, atau sengaja mau ditabrak mobil.

Tapi fiets di sini memang sangat membantu berhemat. Bayangkan kalau harus naik bus Damri-nya Belanda, selain tanggung karena tidak semua jalur dilalui bis juga menghemat. Di sini tidak ada angkot Bung! Yang bisa berhenti persis di tempat yang kita inginkan. Kalau tidak bersepeda ya jalan kaki. Membawa barang belanjaan bahkan pindahan seperti koper atau TV bisa dinaikan ke sepeda. Ringan? Nggak juga tapi lebih baik naik sepeda daripada jalan.

Harga sepeda bekasku Euro75. Sebenarnya banyak yang lebih murah lagi, tapi yah waktu itu ingin cepat-cepat dapat karena banyak yang harus diurus. Kalau yang baru sepertinya di atas E150. Cukup bernilai. Makanya harus selalu dikunci. Kalau tidak, ya dianggap 'remove' boleh diambil. Apalagi kalau mountainbike, yang bergigi. Nah kuncinya ini bermacam-macam. Yang paten malah berharga satu sepeda bekas. Wuih... jadi jangan berpikir aman juga. Mahasiswa kan...

Sehari-hari bersepeda ternyata membuat nafasku dan tentu jantungku lebih baik. Pertama datang naik sepeda ngos-ngosan dan kaki pegal, sekarang better-lah. Orang-orang Belanda sini yang rata-rata subur, naik sepedanya laju. Sampai sekarang saya masih sering disalip oleh noni-noni berambut jagung keemasan atau oma berambut perak. **ehehue** Sepeda mereka lebih bagus. **alesan**

Comments

Popular posts from this blog

Kincir angin

Dolce & Gabbana pun mengoleksi jilbab

[sic!]